Kubu Raya, suara-rakyat.net – Sengketa lahan di Rasau Jaya, Kalimantan Barat, kembali menjadi sorotan. Lahan seluas 335 hektare yang sejak lama dikelola oleh Koperasi Kelompok Pelestarian Sumber Daya Alam (KPSA) kini menjadi sumber konflik berkepanjangan antara koperasi tersebut dengan PT Rajawali Jaya Perkasa (RJP).
Kisruh bermula pada tahun 2015, ketika PT Rajawali Jaya Perkasa menjalin kerja sama dengan kelompok tani Rasau Jaya Umum yang dipimpin oleh Ali Basri. Namun, menurut KPSA, kelompok tani tersebut tidak memiliki legalitas yang sah dan bahkan diduga terbentuk melalui pemalsuan tanda tangan warga sekitar.
Ketua KPSA, Nasrun M. Tahir, S.E., menegaskan bahwa tindakan kelompok tani tersebut tidak bisa diakui secara hukum. Ia menilai, PT Rajawali Jaya Perkasa seharusnya tidak melakukan kerja sama tanpa verifikasi hukum yang jelas.
“Kelompok tani itu tidak terdaftar di pemerintah desa dan tidak punya dasar hukum. Sedangkan KPSA berdiri sejak 1998, memiliki surat resmi dari instansi berwenang, dan rutin membayar pajak,” tegas Nasrun, yang juga mantan Direktur PT Rasau Mandiri Perkasa.
Koperasi KPSA menilai langkah PT Rajawali Jaya Perkasa dan kelompok tani bentukan Ali Basri telah merugikan masyarakat serta mengabaikan proses hukum yang berlaku. Apalagi, Koperasi Produsen Tanjung Jaya Abadi (TJA) yang menaungi kelompok tersebut baru berdiri pada tahun 2017, dua tahun setelah lahan mulai digarap.
“Kerja sama itu cacat hukum sejak awal. Tidak mungkin koperasi yang belum berdiri bisa mengatur lahan pada tahun 2015,” ujar Nasrun dengan nada kecewa.
Ia juga menyoroti fakta bahwa PT Rajawali Jaya Perkasa hingga kini belum memiliki Hak Guna Usaha (HGU), padahal telah mengelola lahan perkebunan sawit di wilayah tersebut. Menurutnya, praktik semacam itu dapat menimbulkan kerugian negara dan menyalahi ketentuan hukum agraria.
Sengketa ini telah melalui serangkaian mediasi, mulai dari tingkat desa hingga kepolisian daerah, namun hingga kini tak kunjung menemukan titik terang. Sementara itu, KPSA terus memperjuangkan haknya atas tanah yang diklaim sebagai hasil perjuangan dan kemandirian petani sejak hampir tiga dekade lalu.
Bagi masyarakat Rasau Jaya, lahan itu bukan sekadar tanah. Ia adalah simbol perjuangan petani mempertahankan hak atas sumber daya alam dari kepentingan yang lebih besar. Di tengah tarik-menarik kepentingan antara korporasi dan koperasi rakyat, keadilan terasa seperti janji yang ditunda.
( Surya Utama )
